MORFOLOGI
TANAMAN KELAPA SAWIT
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kelapa
sawit merupakan bahan baku utama dalam pembuatan minyak goreng komersial,
permintaan kelapa sawit terus meningkat tiap tahunnya karena minyak goreng
sejalan dengan naiknya kebutuhan masyarakat. Menambah produksi kelapa sawit penting untuk dilakukan supaya kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi, budidaya kelapa sawit sebagian besar berada di luar
jawa khususnya di Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Pertanaman kelapa sawit
umumnya di lakukan sebagian besar oleh perkebunan BUMN da perkebunan swasta nasional dengan sistem plasma
dengan perkebunan rakyat hingga perusahaan swasta. Hasil olahan kelapa sawit
yang dijual dalam bentuk minyak mentah atau CPO (Crude
palm oil), selain di pasarkan ke dalam negeri baik berupa CPO maupun dalam bentuk produk olahan kelapa sawit juga di ekspor ke luar negeri karena produksinya tinggi.
Mengingat
kelapa sawit merupakan salah satu komoditas ekspor andalan non-migas,
penanaman, perawatan, pemeliharaan harus dilakukan dengan baik untuk menunjang
dihasilkannya produk yang prima pada saat panen pasca panen dan pemasaran.
Mengenali morfologi kelapa sawit merupakan dasar yang penting untuk menentukan
teknik pemeliharaan, penanaman dan perawatan kelapa sawit. Berdasarkan
informasi dari berbagai sumber diketahui bahwa kelapa sawit merupakan tanaman
penyerbuk silang, artinya letak kelamin jantan dan betina berada pada bunga yang berlainan (berumah dua). Keberhasilan penyerbukan kelapa sawit dapat didorong dengan pembiakan serangga penyerbuk khusus yang mengedar-kan serbuk sari pada putik bunga betina.
Penampakan
luar atau morfologi lain yang perlu dicermati dan dipahami adalah bentuk daun,
akar, batang, dan biji. Mempelajari dan memahami karakteristik morfologi /organ luar kelapa sawit kelapa sawit digunakan sebagai dasar untuk mengelola khususnya pemeliharaan dan perawatan kelapa sawit yang tepat supaya pertumbuhannya baik sehingga menghasilkan hasil optimal. Penerapan pemahaman terhadap morfologi kelapa sawit untuk pemeliharaan tanaman misalnya dengan mempelajari karakteristik biji kelapa sawit sebagai bahan tanam. Karakteristik biji kelapa sawit
berdasarkan tipe perkecambahannya tergolong tumbuhan berkeping satu
(monokotil), berdasarkan kadar air benihnya termasuk benih rekalsitran. Benih
rekalsitran membutuhkan perawatan khusus, dan umumnya lebih pendek dibanding
benih orthodox yang berkadar air rendah. Biji kelapa sawit digunakan sebagai
salah satu bahan tanam, benih yang berkualitas dapat dihasilkan melalui
perlakuan yang baik sesuai karakteristik benih. Tetapi dewasa ini perbanyakan
kelapa sawit umumnya banyak dilakukan dengan memanfaatkan teknologi kultur
jaringan, alasannya lebih cepat, banyak, dan sifat unggul dapat
dipertahankan.
Mempelajari
morfologi kelapa sawit yang baik selain dapat dilakukan dengan studi pustaka
juga diperlukan studi langsung dilapang, misalnya dalam kegiatan filed trip atau kunjungan lapang. Pelaksanaan field trip diharapkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dalam menganalisis
intensifikasi teknologi kelapa sawit meningkat karena dilakukan dengan mempelajari obyeknya secara langsung. Pelaksanan field trip penting untuk dilakukan untuk memperkaya teori yang sudah diperoleh yang disinergikan dengan pengalaman dilapang sehingga wawasan yang diperoleh lebih kaya. Kegiatan field trip memungkinkan mahasiswa untuk berdiskusi mengenai pengelolaan kelapa sawit secara nyata dilapangan yang tidak hanya terpaku pada teknis budidaya. Selain teknis budidaya didalam pelaksanaan field trip juga dapat didiskusikan mengenai pengelolaan manajemen pengaturan kerja, pengelolaan limbah, pengelolaan hasil, dan hukum atau perundangan
yang berlaku. Kegiatan field trip secara keseluruhan penting untuk dilakukan untuk memperkaya pengetahuan, wawasan, pengalaman, dan keterampilan yang berguna untuk dijadikan modal dalam dunia
kerja.
1.2 Tujuan
1. Memberikan
wahan aplikasi keilmuan bagi mahasiswa.
2. Memberikan
pengalaman dan melatih keterampilan mahasiswa dalam menganalisa intensifikasi
teknologi budidaya Kelapa Sawit.
Tanaman kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq) saat ini merupakan salah satu jenis tanaman perkebunan
yang menduduki posisi penting di sektor pertanian umumnya, dan sektor
perkebunan khususnya, hal ini disebabkan karena dari sekian banyak tanaman yang
menghasilkan minyak atau lemak, kelapa sawit yang menghasilkan nilai ekonomi
terbesar per hektarnya di dunia (Balai Informasi Pertanian, 1990; Khaswarina,
2001). Perkembangan ekspor yang terus meningkat disertai dengan harga yang
semakin membaik di pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri menunjukkan
bahwa tanaman kelapa sawit cukup potensial untuk dikembangkan (Khaswarina,
2001).
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak
kelapa sawit (CPO- crude palm oil) dan inti kelapa sawit (CPO) merupakan salah
satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi sumber penghasil devisa
non-migas bagi Indonesia. Cerahnya
prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam perdagangan minyak nabati dunia
telah mendorong pemerintah Indonesia untuk memacu pengembangan areal perkebunan
kelapa sawit. Selama 14 tahun terakhir ini telah terjadi peningkatan luas areal
perkebunan kelapa sawit sebesar 2,35 juta ha, yaitu dari 606.780 ha pada tahun
1986 menjadi hampir 3 juta ha pada tahun 1999 (Manurung., Togu. G.E., 2001).
Oleh karena itu mempelajari morfofisologis kelapa sawit sangat penting guna
menghasilkan produksi kelapa sawit yang optimal yakni mendekati potensi
genetisnya.
Tanaman kelapa sawit mulai berbuah
setelah 2,5 tahun dan masak 5,5 bulan setelah penyerbukan. Dapat dipanen jika
tanaman telah berumur 31 bulan, sedikitnya 60% buah telah matang panen, dari 5
pohon terdapat 1 tandan buah matang panen. Ciri tandan matang panen adalah
sedikitnya ada 5 buah yang lepas/jatuh (brondolan) dari tandan yang beratnya
kurang dari 10 kg atau sedikitnya ada 10 buah yang lepas dari tandan yang
beratnya 10 kg atau lebih. Disamping itu ada kriteria lain tandan buah yang
dapat dipanen apabila tanaman berumur kurang dari 10 tahun, jumlah brondolan
yang jatuh kurang lebih 10 butir, jika tanaman berumur lebih dari 10 tahun,
jumlah brondolan yang jatuh sekitar 15-20 butir (Utama dan Widjadja, 2004).
Kelapa sawit merupakan tanaman yang menyerbuk silang
sehingga benih yang dihasilkan tidak seragam sifatnya dan sifat unggul tidak
dapat dipertahankan. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan bibit unggul maka
varietas hibrida tenera diperbanyak melalui kultur jaringan. Kelapa sawit hasil
perbanyakan kultur jaringan seringkali menghasilkan buah dan bunga abnormal,
berbeda dengan tanaman dari benih. Tanaman yang berasal dari benih sering
terjadi abnormalitas saat mulai berbunga, namun menjadi stabil berbunga dan
berbuah normal pada umur 2,5 tahun (Hetharie, et al., 2006).
Minyak
kelapa sawit diperoleh dari pengolahan buah kelapa sawit (Elaeis guinensis
JACQ). Secara garis besar buah kelapa sawit terdiri dari serabut buah
(pericarp) dan inti (kernel). Serabut buah kelapa sawit terdiri dari tiga lapis
yaitu lapisan luar atau kulit buah yang diseb but pericarp, lapisan sebelah
dalam disebut mesocarp atau pulp dan lapisan paling dalam disebut endocarp.
Inti kelapa sawit terdiri dari lapisan kulit biji (testa), endosperm dan
embrio. Mesocarp mengandung kadar minyak rata-rata sebanyak 56%, inti (kernel)
mengandung minyak sebesar 44%, dan endocarp tidak mengandung minyak (6). Minyak
kelapa sawit seperti umumnya minyak nabati lainnya adalah merupakan senyawa
yang tidak larut dalam air, sedangkan komponen penyusunnya yang utama adalah
trigliserida dan nontrigliserida (7) (Pasaribu, 2004).
Pemanfaatan
teknik kultur jaringan dalam skala besar dihmbat oleh adana fenotip buah
bersayap kira – kira 5,69% pada klon PPKS atau 5 – 10% pada semua klon yang
diregenerasi. Menurut Tandon et al., (2001)
dalam (Hetharie, et al., 2006) pistil kelapa sawit mempunyai stigma berbentuk
cuping (trilobe) yang membentuk tiga
lokul pada dasar ovari. Pada tiap lokul terdapat ovul sehingga pistil kelapa
sawit dikatakan sebagai ginoesium dengan tiga karpel. Sedangkan bunga jantan
mempunyai enam atau tujuh stanmen, tiap rangkaian buinga jantan menghasilkan
serbuk sari 40-60 g.
Mathius, et al (2001) melaporkan tanaman kelapa sawit mempunyai tipe
perakaran dangkal sehingga umumnya tidak toleran terhadap cekaman kekeringan, yang sangat
membatasi pertumbuhan dan produksi. Cekaman kekeringan dapat menghambat
pembukaan pelepah daun muda, merusak hijau daun yang menyebabkan daun tampak
mengguning dan menggering, pelepah daun terkulai dan pupus patah. Pada fase
reproduktif cekaman kekeringan menyebabkan perubahan nisbah kelamin bunga dan
buah muda mengalami keguguran, dan tandan buah gagal menjadi rusak. Akhirnya
mengakibatkan gagal panen dan menurunkan produksi tandan buah segar hingga 40%
dan CPO hingga 21-65%.
III.
METODOLOGI
3.1
Waktu dan Tempat
Field Trip
dilaksanakan hari Sabtu, 05 Mei 2012 jam 07.00 WIB di Kebun Percobaan Politeknik Negeri Jember,
desa Sumbersari, Kecamatan Sumbersari, Jember.
3.2
Alat dan Bahan
3.2.1
Alat
1.
Alat tulis
2. Kamera
3.2.2 Bahan
1.
Beberapa jenis tanaman kelapa sawit
3.2 Cara kerja
1. Mengunjungi beberapa areal kelapa sawit
2. Memilih beberapa contoh tanaman dan mengamati
secara teliti ciri – ciri yang ada dari tiap jenis tanaman sawit tersebut.
3. Mendiskusikan teknik kegiatan pembibitan,
penyadapan dan pengolahan hasil tanaman sawit dengan para teknisi lapangan.
4. Membuat laporan sesuai dengan topik yang telah
ditentukan.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.2 Pembahasan
Tanaman
kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) termasuk ke dalam famili Palmae dan
subkelas Monocotyledoneae. Spesies lain dari genus Elaeis adalah E. melanococca
yang dikenal sebagai kelapa sawit Amerika Latin. Beberapa varietas unggul yang
ditanam adalah : Dura, Pisifera dan Tenera. Morfologi kelapa sawit merupakan
dasar yang penting untuk menentukan teknik pemeliharaan, penanaman dan
perawatan kelapa sawit yang tepat sehingga diharapkan dengan pemeliharaan yang
tepat produksi dapat ditingkatkan hingga mendekati potensi genetisnya.
1. Akar : Tanaman
kelapa sawit memiliki jenis akar serabut. Akar utama akan membentuk akar
sekunder, tertier, kuartener dan seterusnya. Akar primer yang tumbuh vertikal
disebut radicle sedangkan yang tumbuh horisontal disebut adventitous root,
dengan diameter 5 – 10 mm. Akar skunder adalah akar yang tumbuh dari akar
primer, arah tumbuhnya mendatar ataupun kebawah, berdiameter 1 – 4 mm. Akar
tertier memiliki panjang 15 cm dengan diameter 0,5 mm – 1,5 mm, sedangkan akar
kuarter berdiameter 0,2 – 0,5 mm dan panjang rata – ratanya 3 cm.
2. Batang : Batang
kelapa sawit berbentuk silinder dengan diameter sekitar 20–75 cm. Tinggi batang
bertambah sekitar 45 cm per tahun. Dalam kondisi lingkungan yang sesuai
pertambahan tinggi dapat mencapai 100 cm per tahun. Pada ujung batang terdapat
titik – titik tumbuh, pertumbuhan batang meninggi mulai umur 4 tahun, dengan
kecepatan pertumbuhan sekitar 25 – 40 cm per tahun.
3. Daun : Susunan
daun kelapa sawit membentuk susunan daun majemuk. Susunan ini menyerupai
susunan daun pada tanaman kelapa. Panjang pelepah daun sekitar 7,5–9 m. Jumlah
anak daun pada setiap pelepah berkisar antara 250–400 helai. Produksi pelepah
daun selama satu tahun mencapai 20–30 pelepah. Daun kelapa sawit terdiri dari beberapa bagian, sebagai berikut:
Kumpulan anak daun (leaflets) yang mempunyai
helaian (lamina) dan tulang anak daun (midrib).
Rachis yang merupakan tempat anak daun melekat.
Tangkai daun (petiole) yang merupakan bagian
antara daun dan batang.
Seludang daun (sheath) yang berfungsi sebagai
perlindungan dari kuncup dan memberi kekuatan pada batang.
4. Bunga : Tanaman
kelapa sawit merupakan tanaman berumah satu. Rangkaian bunga jantan terpisah
dengan rangkaian bunga betina. Umumnya tanaman kelapa sawit melakukan
penyerbukan silang. Bunga muncul
dari ketiak daun. Setiap ketiak daun hanya dapat menghasilkan satu infloresen
(bunga majemuk). Bunga kelapa sawit merupakan bunga majemuk yang terdiri dari
kumpulan spikelet dan tersusun dalam infloresen yang berbentuk spiral.
5. Buah : Buah
terkumpul di dalam tandan. Dalam satu tandan terdapat sekitar 1.600 buah.
Tanaman normal akan menghasilkan 20–22 tandan per tahun. Jumlah tandan buah
pada tanaman tua sekitar 12–14 tandan per tahun. Berat setiap tandan sekitar
25–35 kg. Buah kelapa sawit digolongkan
sebagai buah drupe, terdiri dari pericarp yang terbungkus oleh exocarp (kulit),
mesocarp, dan endocarp (cangkang) yang mebungkus 1-4 inti/kernel. Inti memiliki
testa (kulit), endosperm yang padat, dan sebuah embrio (Anonymous,
2012)
Gulma pada pertanaman kelapa sawit
merupakan masalah serius yang dapat menyebabkan penurunan produksi sawit jika
populasinya tinggi, hal ini terjadi karena antara gulma dan kelapa sawit
berlangsung kompetisi serapan hara dan air. Akibatnya hara dan air yang diserap
oleh akar kelapa sawit berkurang sehingga kebutuhan tanaman tidak dapat
dipenuhi secara optimal yang bermuara pada terganggunya pertumbuhan dan
perkembangan kelapa sawit. Pertumbuhan yang terhambat berkolerasi positif
dengan penurunan produksi atau panen kelapa sawit.
Pengendalian gulma di perkebunan kelapa sawit dilakukan
tidak seintensif pada perkebunan komoditas hortikultura, namun
pengendalian gulma harus tetap dilakukan. Pengendalian gulma di perkebunan kelapa
Sawit dilakukan pada piringan dan gawangan. Gawangan yang dibersihkan
adalah gawangan hidup. Pada gawangan hidup ini terdapat jalan pikul dengan
lebar satu meter. Jalan pikul adalah jalan yang digunakan untuk
mengangkut hasil panen kelapa sawit. Oleh karena itu jalan pikul ini juga
harus bersih dari gulma. Gulma-gulma dan pelepah kelapa sawit yang
dibersihkan diletakan di gawangan mati yang nantinya dapat menjadi pupuk
organik bagi tanaman kelapa sawit.
Ada 3 jenis gulma yang perlu dikendalikan, yaitu (1)
ilalang di piringandan gawangan, (2) rumput-rumputan di piringan, dan (3)
tumbuhan penggangguatau anak kayu di gawangan. Gulma utama yang tidak boleh ada
di perkebunankelapa sawit adalah gulma berkayu seperti Melastoma malabatrichum.
Gulma lunak seperti Digitaria sp. dan jenis gulma rumput lainnya tidak perlu
dikendalikan asalkan tingginya tidak melebihi 20 cm. lalang pada perkebunan
kelapa sawit sangat perlu dihindari. Ilalang perlu dikendalikan karena
pertumbuhannya yang cepat sehingga penyerapan unsur hara yang cepat
pula oleh ilalang akan mengganggu pertumbuhan kelapa sawit. Alasan lain adalah
kondisi populasi ilalang yang tinggi merupakan potensi terjadinya kebakaran.
Pengelolaan
gulma umumnya dilakukan secara mekanis dan kimiawi, mengingat luasan pertanaman
kelapa sawit yang luas maka pengendalian gulma banyak dilakukan dengan
mengaplikasikan herbisida. Teknis pelaksanaannya dimulai dengan herbisida
mengencerkan herbisida kedalam air didalam tangki (alat semprot), misalnya 10
ml dalam 30 liter air, tetapi standar pada perkebunan komersial umumnya pelarut
(solute) 1% terhadap terlarut (solvent). Larutan herbisida kemudian dapat
disemprotkan pada lingkar yang dibuat
disekitar pohon / piringan. Untuk mengahsilkan pengendalian OPT yang efektif maka diperlukan cara dan
penyemprotan herbisida yang benar, dengan memperhatikan beberapa hal sebagai
berikut :
1.
Ukuran
droplet harus tepat untuk berbagai jenis penyemprotan yang berbeda, ukuran
droplet yang baik harus membentuk butiran kecil dan halus sehingga didapatkan
sudut semprot yang lebar, dan droplet bisa merata pada permukaan daun.
2.
Permukaan
target tertutup oleh droplet dalam jumlah yang memenuhi syarat, semakin merata
permukaan daun oleh droplet dengan butiran yang kecil dan halu maka semakin
efektif pula penyemprotan yang dilakukan sehingga OPT akan banyak yang mati.
3.
Volume
aplikasi yang tepat dapat membunuh OPT secara efesien dan tidak terlalu
mencemari lingkungan, asar dilakukan dengan prosedur yang benar.
4. Herbisida
yang menempel pada target
harus sebanyak mungkin, dengan banyaknya herbisida yang menempel kemungkinan
OPT untuk hidup semakin kecil.
5.
Penyebaran
droplet semprotan pada permukaan bidang sasaran hurus merata
Hal-hal teknis yang perlu diperhatikan dalam
penggunaan herbisida adalah ketepatan penentuan dosis. Dosis yang terlalu
tinggi akan menyebabkan pemborosan herbisida, di samping merusak lingkungan.
Dosis yang terlalu rendah menyebabkan hama sasaran tidak mati. Di samping
berakibat mempercepat timbulnya resistensi.
1. Dosis herbisida : Dosis adalah jumlah herbisida dalam liter atau
kilogram yang digunakan untuk mengendalikan hama tiap satuan luas tertentu atau
tiap tanaman yang dilakukan dalam satu kali aplikasi atau lebih. Ada pula yang
mengartikan dosis adalah jumlah herbisida yang telah dicampur atau diencerkan
dengan air yang digunakan untuk menyemprot hama dengan satuan luas tertentu.
Dosis bahan aktif adalah jumlah bahan aktif herbisida yang dibutuhkan untuk
keperluan satuan luas atau satuan volume larutan. Besarnya suatu dosis herbisida
biasanya tercantum dalam label herbisida.
2. Konsentrasi herbisida : Ada tiga macam konsentrasi yang perlu diperhatikan
dalam hal penggunaan herbisida, antara lain :
a. Konsentrasi bahan aktif, yaitu persentase bahan aktif suatu herbisida
dalam larutan yang sudah dicampur dengan air.
b. Konsentrasi formulasi, yaitu banyaknya herbisida dalam cc atau gram
setiap liter air.
c. Konsentrasi larutan atau konsentrasi herbisida, yaitu persentase
kandungan herbisida dalam suatu larutan jadi.
3. Alat sempro : Alat untuk aplikasi herbisida terdiri atas
bermacam-macam seperti knapsack sprayer (high volume) biasanya dengan volume
larutan konsentrasi sekitar 500 liter. Mist blower (low volume) biasanya dengan
volume larutan konsentrasi sekitar 100 liter. Dan Atomizer (ultra low volume)
biasanya kurang dari 5 liter. Alat Penyemprot yang akan disebarkan di berbagai
titik. Mengingat penggunaan herbisida yang penting dan juga penuh perhatian tersebut
maka dibutuhkan Sistem penyemprotan herbisida ini yang dapat mengatur penyempro
-tan mulai dari debit herbisida
yang dibutuhkan hingga durasi penyemprotan secara berkala, dimana akan
ditempatkan beberapa alat pada titik-titik tertentu area persawahan tersebut.
`
Penggunaan alat semprot untuk diaplikasikan pada areal
lahan yang cukup luas ± 1 Ha agar lebih efektif harus dilakukan kalibrasi
dengan tujuan dapat mengefesiensikan penggunaan tenaga kerja, herbisida
sehingga akan berpengaruh langsung pada pengelolaan biaya produksi. Formula
perhitungan kalibrasi adalah sebagai berikut :
Jumlah Volume (D) merupakan jumlah aplikasi yang harus
dilakukan pada lahan tersebut yang telah ditambahnkan bahan pelarut dan
bahan-bahan lain yang dibutuhkan. Kebutuhan ini tdak dapat digunakan sebagai
acuan yang pasti apabila terdapat variabel yang dirubah seperti aplikator,
jenis alat serta keadaan-keadaan alam (hujan, angin, mendung, panas, dsb). Oleh
karena itu, kalibrasi setidaknya dilakukan dengan menggunakan 3 range sampel
agar hasil yang didapatkan lebih mendekati nilai yang valid.
Kalibrasi alat semprot penting
untuk dilakukan karena hasil dari kalibrasi dapat digunakan sebagai acuan
kebutuhan pestisida dalam luas lahan tertentu dan dengan waktu semprot
tertentu. Diharapkan dengan kalibrasi yang baik kebutuhan
herbisida dapat diketahui secara tepat sehingga efisiensi biaya, tenaga, dan
waktu dapat dicapai. Jika hal itu dapat tercapai maka keuntungan yang diperoleh
dapat ditingkatkan. Terkait pelaksanaannya dalam pengendalian kimiawi kelapa
sawit tiga faktor penting untuk keberhasilan kalibrasi adalah lebar gawang dan
model gawang, luas piringan, serta HOK (hari orang kerja) dan prestasi kerja.
Sebelum dilakukan pemanenan kelapa sawit biasanya
dilakukan penimbangan sampel buah kelapa sawit tiap tandan secara acak dalam
areal pertanaman kelapa sawit. Tujuannya adalah untuk memprediksikan hasil
panen yang akan diperoleh, buah dianggap layak untuk dipanen jika jumlah buah
tiap tandan diatas 120 buah. Jika jumlah buah per tandan dibawah 120 maka tidak
dilakukan panen, hal ini berkaitan dengan ongkos panen dimana pada kisaran
tersebut diestimasikan operasional pekerja tidak dapat tercukupi oleh hasil
yang diperoleh. Hasil yang baik untuk tiap tandanya bisa mencapai 160 buah,
jika hal itu terjadi maka keuntungan yang diperoleh akan jauh lebih besar.
Pertanaman kelapa sawit umumnya menggunakan jarak tanam
dengan pola segitiga, alasannya adalah supaya populasi per hektar lebih banyak
dibandingkan jarak tanam segi empat. Sebagai gambaran berikut ilustrasi perbandingan populasi kelapa sawit per hektar dengan pola jarak tananm persegi dan segitiga yang diketahui jarak tanamnya masing-masing ialah 9,2 x 9,2 x 9,2
m (segitiga) dan 9,2 x 9,2 m (persegi).
Berdasarkan hitungan diatas jelas
dapat diketahui bahwa menam kelapa sawit dengan pola segitiga jauh lebih besar
populasi yang bisa ditanam yakni 119 untuk pola tanam persegi dan 138 untuk
pola tanam segitiga jika jarak tanamnya 9,2 x 9,2 x 9,2 m. Populasi yang lebih
besar dengan pertimbangan pertumbuhan dan ekologis yang tepat akan menghasilkan
produksi kelapa sawit yang jauh lebih besar, jadi efisiensi dapat ditingkatkan.
Potensi Indonesia untuk pengembangan kelapa sawit jelas sangat mendukung baik
dari segi alam atau sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia (SDM) yang makin
meningkat. Hal – hal yang mendukung budidaya kelapa sawit di Indonesia antara
lain :
1.
Lahan pertanian yang sangat luas dan banyak yang belum termanfaatkan terutama
lahan marginal, karena diketahui kelapa sawit mampu bertahan pada pH rendah
yankni 4,5.
2. Populasi penduduk yang besar untuk tenaga
kerja, penduduk yang perpendidikan tinggi semakin meningkat berarti SDM juga
semakin meningkat menjadi nilai lebih tersendiri.
3. Permintaan minyak goreng maupun CPO (Crude
palm Oil) yang terus meningkat.
4. Manfaat bagi masyarakat dapat mengurangi angka
pengangguran, meningkatkan pendapatan per kapita, bagi perusahaan lahan kelapa
sawit dapat diolah dan dipasarkan dengan cepat dan dapat memperbesar usaha dan
pemasarannya.
5. Bagi pemerintah keberadaan perkebunan kelapa
sawit baik swasta maupun BUMN dapat meningkatkan pendapatan pemerintah dari
sektor pajak, dan sumber devisa negara yang besar.
6. Adanya perkebunan kelapa sawit dan usaha
pengolahannya dapat menggerakkan sektor perekonomian lainnya seperti
telekomunikasi, transportasi, perdagangan, pariwisata, dan lain sebagainya.
V.
KESIMPULAN
1. Kelapa
sawit merupakan tanaman berakar serabut, berbatang silinder, daun majemuk,
tanaman berumah dua (alat reproduksi betina dan jantan tidak dalam satu bunga),
dengan buah terkumpul didalam tandan.
2. Hal
– hal yang perlu diperhatikan dalam pengendalian gulma kelapa sawit adalah model
gawangan, luas piringan, prestasi kerja, dosis, konsentrasi dan alat semprot
yang digunakan.
3. Pola
tanam yang sering digunakan dalam pertanaman kelapa sawit adalah pola tanam
segitiga karena populasi yang dihasilkan lebih banyak. Pengambilan sampel berat
kelapa sawit sebelum pemanenan berfungsi untuk memprediksikan hasil yang
diperoleh dan untuk menentukan apakah kelapa sawit yang dibudifayakan layak
dipanen atau tidak jika dikaitkan dengan tenaga kerja.
4. Manfaat
pertanaman kelapa sawit bagi pemerintah adalah sebagai sumber pendapatan pajak
dan devisa, penggerak sektor perekonomian lain, dan penyedia lapangan kerja.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymous.
2007. Seluk Beluk Kelapa Sawit. http://sawitkalbar.blogspot.com/
2007/10/tanaman-kelapa-sawit.html. diakses 20 Mei 2012
Balai
Informasi Pertanian. 1990. Pedoman
Budidaya Kelapa Sawit. Departemen Pertanian. Medan. 32 hal. dalam
Kaswarina. 2001. Keragaan Bibit Kelapa Sawit terhadap Pemberian Berbagai
Kombinasi Pupuk di Pembibitan Utama. Natur
Indonesia. 3 (2) : 138 – 150
Hetharie,
Wattimena, Thenawidjaya, Asmidinoor, Mathius, dan Ginting. 2006. Karakterisasi Morfologi Bunga dan Buah
Abnormal Kelapa Sawit (Elaeis guineesis Jacq)
Hasil Kultur Jaringan. Agronomi. 35
(1) : 50 - 57
Kaswarina.
2001. Keragaan Bibit Kelapa Sawit terhadap Pemberian Berbagai Kombinasi Pupuk
di Pembibitan Utama. Natur Indonesia.
3 (2) : 138 – 150
Manurung., Togu. G.E., 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi
Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia. Jakarta : Environmental Policy and
Institutional Strengthening IQC
Mathius, Wijana, Guharja, Aswidinoor, Yahya,
dan Subroto. 2001. Respon Tanaman Kelapa Sawit (Elaeis guineesis Jacq) terhadap Cekaman Kekeringan. Menara Perkebunan. 69 (2) : 29 - 45
Pasaribu.,
Nurhida. 2004. Minyak buah Kelapa Sawit.
Medan : Universitas Sumatra Utara
Utomo dan
Widjaja. 2004. Limbah
Padat Pengolahan Minyak Sawit Sebagai Sumber Nutrisi Ternak Ruminansia. Jurnal Litbang Pertania. 23 (1) : 22 – 28.
Tandon,
R., T.N. Manohara, B.H.M. Nijalingappa, K.R. Shivana. 2001. Polination and
Polen-Pistil Interaction in Oil Palm, Elaeis
guineensis. Annals of Botany. 87
: 831 – 838 dalam Hetharie, Wattimena, Thenawidjaya, Asmidinoor,
Mathius, dan Ginting. 2006.
Karakterisasi Morfologi Bunga dan Buah Abnormal Kelapa Sawit (Elaeis guineesis Jacq) Hasil Kultur
Jaringan. Agronomi. 35 (1) : 50 - 57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar